Rabu, 25 April 2012

Situational Leadership

Situational Leadership

Mengapa Michael H. Hart – dalam bukunya yang berjudul “100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia” - menempatkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai tokoh nomor 1 yang paling berpengaruh di dunia? Apa saja yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW sehingga ia layak dinobatkan sebagai tokoh nomor 1 di dunia yang paling berpengaruh?
Berikut, sebagian dari prestasi yang telah dicapai Rasulullah Muhammad SAW yang saya kutip dari kata pengantar buku “The Art of Leadership” :
“Dalam waktu yang sangat singkat 23 tahun (Periode Makkah selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun), beliau sukses mengubah masyarakat jahiliyah menjadi sosok-sosok yang cerdas secara spiritual, dari masyarakat paganisme yang primitif menjadi komunitas bertauhid yang madani. Dari masyarakat yang berperangai kasar menjadi masyarakat yang santun. Dari masyarakat yang tidak dikenal oleh peradaban menjadi umat yang memimpin peradaban. Dari masyarakat yang disebut asyaddu kufran wa nifafan menjadikuntum khaira ummatin.” (DR. Muhammad Fathi, “The Art of Leadership in Islam”, 2009 : 7)
Apa rahasia di balik sukses itu? Masih dibuku yang sama, jawabannya adalah gaya kepemimpinan (garis miring dan cetak tebal dari penulis) Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana gaya kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW?
Masih di buku yang sama dijelaskan bahwa, gaya kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW ditandai oleh 3 hal. Pertama, beliau bisa cocok dengan semua pribadi. Kedua, beliau sangat memahami potensi-potensi pribadi bawahannya (baca : sahabatnya); dan ketiga, keteladanan beliau. Keteladanan adalah kesatuan ucapan dan perbuatan. Perbuatan adalah perintah yang lebih kuat dari hanya sekedar kata-kata (DR. Muhammad Fathi, “The Art of Leadership in Islam”, 2009, hlm. 8-9)
Dalam literatur dan teori kepemimpinan, gaya kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW disebut Situational Leadership (teori ini digagas oleh Paul R. Hersey dan Ken Blanchard). Definisi dari Situational Leadershipadalah “a leadership contingency theory that focuses on followers’ maturity / readiness”. Inti dari teori Situational Leadership adalah bahwa, gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan berbeda-beda, tergantung dari tingkat kesiapan para pengikutnya.
#Komponen Kepemimpinan
Dalam setiap kepemimpinan selalu terdapat 4 komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yaitu pemimpin, bawahan, situasi, dan komunikasi. Proses dan keberhasilan kepemimpinan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan. Sedangkan gaya kepemimpinan ditentukan oleh situasi bawahan.

Yang dimaksud dengan situasi para pengikut adalah kesiapan dari para pengikut. Tingkat kesiapan pengikut ditentukan oleh faktor kemampuan (kematangan) dan kemauan (motivasi). Idealnya, gaya kepemimpinan berbeda-beda dan disesuaikan dengan tingkat kesiapan para pengikutnya.

#Situasi Bawahan (Follower Readiness)
Tingkat kesiapan pengikut ditandai oleh dua karakteristik sebagai berikut : (i.) the ability and willingness for directing their own behavior; dan (ii.) the extent to which people have and willingness to accomplish a specific task.”Readiness 1 (Kesiapan Tingkat 1) menunjukkan bahwa, bawahan tidak mampu dan tidak mau mengambil tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini, bawahan tidak memiliki kompetensi dan tidak percaya diri.
Readiness 2 menunjukkan bawahan tidak mampu melakukan suatu tugas, tetapi ia sudah memiliki kemauan. Motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas.
Readiness 3 menunjukkan situasi di mana bawahan memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi bawahan tidak mau melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya.
Readiness 4 menunjukkan bahwa bawahan telah memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan kemauan yang kuat untuk melaksanakannya.
#Gaya Kepemimpinan
Tingkat kesiapan bawahan yang berbeda menuntut gaya kepemimpinan yang berbeda pula. Prinsip “One Size Fits All” tidak berlaku dalam gaya kepemimpinan, terutama menghadapi tingkat kesiapan bawahan yang berbeda.
Menurut Hersey dan Blanchard, ada 4 gaya kepemimpinan yang sesuai dengan masing-masing tingkat kesiapan bawahan, yaitu directing, coaching, supporting, dan delegating. Setiap pemimpin harus mengetahui dan mahir menggunakan gaya kepemimpinan yang berbeda, sesuai dengan tingkat kesiapan bawahan.
Gaya kepemimpinan directing (kadang-kadang disebut “telling”) sesuai dengan bawahan yang memiliki tingkat kesiapan 1. Dalam gaya kepemimpinan directing, pemimpin bertindak “hyperactive” memberikan tugas-tugas kepada bawahan dan mengawasinya. Pemimpin bertindak “the King can do no wrong” dan menginstruksikan bawahannya apa, bagaimana, kapan dan di mana tugas-tugas harus dilakukan.
Gaya kepemimpinan coaching (kadang-kadang disebut “selling”) untuk menghadapi bawahan dengan tingkat kesiapan 2. Gaya kepemimpinan coaching ditandai oleh pemberian tugas-tugas oleh atasan masih tinggi, tetapi disertai dengan kualitas hubungan lebih baik (atas memberikan dukungan, tidak sekedar sebagai pengawas).
Gaya kepemimpinan participating ditandai oleh inisiatif dari bawahan mulai muncul dan instruksi dari atasan tidak lagi dominan. Peran atasan adalah menyeimbankan antara komunikasi dan memberikan dukungan kepada bawahan. Atasan juga memberikan dukungan yang kondusif kepada bawahan mereka, misalnya melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan delegating, bawahan lebih proaktiv dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Komunikasi dan gagasan ditandai oleh bottom up model, dari bawahan kepada atasan. Dukungan penuh oleh atas diberikan dalam bentuk pendelegasian tugas dan pengambilan keputusan dalam batas-batas tertentu.
Situational Leadership Dalam Kehidupan Sehari-hari
Disadari atau tidak, situational leadership telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara orang tua dengan anak-anak dan gaya kepemimpinan dalam sebuah keluarga, sengaja atau tidak sengaja, seringkali didasarkan atas situasional leadership.
Apakah sama gaya kepemimpinan orang tua terhadap anak-anak di usia berapapun? Tentu tidak. Kepercayaan terhadap anak-anak akan sejalan dengan tingkat perkembangan psikologis dan sosial anak-anak.
Semakin banyak pengetahuan anak-anak tentang kehidupan sosial (di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan sosial terdekat), biasanya ditandai oleh perkembangan kemandirian psikologis dan sosial anak-anak. Karena itu, semakin beranjak dewasa, kepercayaan orang tua kepada anak-anak akan semakin meningkat.
Pada saat masih balita sampai dengan lulus SD, gaya kepemimpinan orang tua adalah directing. Artinya, orang tua bertindak mengajarkan kepada anak-anak bagaimana melakukan sesuatu, mengantar dan menjemput anak-anak, dan lain sebagainya. Orang tua lebih banyak memberikan instruksi, pengawasan, dan cenderung protektif.
Pada saat anak mencapai usia SLTP, gaya kepempinan orang tua adalah coaching. Instruksi dan pengawasan orang tua masih ketat, tetapi si anak mulai diajarkan untuk bertindak proaktif dan mampu mandiri untuk mengerjakan sehari-hari (mandi, membersihkan tempat tidur dan kamar, dan lain sebagainya). Orang tua masih melakukan antar jemput anak-anak ke sekolah, tetapi sesekali anak dibolehkan pulang sendiri bersama teman-temannya.
Di jenjang pendidikan SLTA anak-anak mulai belajar mandiri secara psikologis dan sosial. Gaya kepemimpinan orang tua pun berubah menjadi participating. Orang tua mulai melatih anak-anak dalam proses pengambilan keputusan. Frekuensi instruksi sangat sedikit, orang tua lebih banyak melalukan pendampingan. Kepercayaan kepada anak-anak semakin meningkat. Anak-anak mulai diberikan tanggung jawab yang lebih besar.
Gaya kepemimpinan delegating diterapkan pada saat anak-anak sudah kuliah. Instruksi dan pemberian contoh sudah sangat berkurang. Anak-anak tidak sekedar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi anak-anak bahkan sudah memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan sendiri.
Sebagai pembanding untuk memahami situational leadership adalah gaya kepemimpinan yang pernah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro. Perkembangan kematangan psikologis dan sosial anak-anak dapat merubah gaya kepemimpinan anak-anak. Mulai dari ing ngarso sing tulodo, dilanjutkan dengan ing madya mangun karsa,dan terakhir tut wuri handayani.
Jika di usia balita sampai dengan SLTP orang tua lebih banyak melalukan ing ngarso sing tulada, maka di usia SLTA orang tua mulai menerapkan gaya kepimpinan ing madya mangun karsa. Sedangkan pada saat anak-anak sudah mulai kuliah dan matang secara psikologis dan sosial, orang tua mulai mengedapankan pendekatan tut wuri handayani.





0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management